0

LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Posted by Unknown on 01.16 in




LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA





Kelompok IX:
Atikah Safirah             13730101
Siroth Lutfi                             13730102
Nur Rafika T.N                       13730103
Anang Setyawan                     13730104
Dosen: Yayan Suryana, M.



UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
2013/2014
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
            Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan hampir 80% penduduknya adalah muslim. Namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, tetapi karena Indonesia merupakan negara yag berpenduduk muslim terbesar di dunia maka banyak para ahli yang mengelompokkan Indonesia sebagai kelompok negera-negara Islam.
            Mengingat Islam di Indonesia adalah mayoritas, maka unsur Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat sosial sangatlah kental, tidak terkecuali dalam masalah hukum. Dimana meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi dalam penerapan sistem hukum nasional, Indonesia juga menggunakan asas dari unsur Islam.
            Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Islam, dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahanya. Hukum Islam, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
            Sementara dalam hal perlembagaan hukum, unsur Islam juga banyak mewarnai lembaga-lembaga yang ada di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga sampai sekarang. Dan karena pengaruh Islam sebagai agama mayoritas, di Indonesia juga banyak muncul organisasi-organisasi Islam yang disertai dengan lembaga-lembaga fatwa yang mengkaji tentang hukum Islam. Organisasi-organisasi itu seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, dan lian-lain.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah hukum Islam di Indonesia?
2.      Apa saja lembaga-lembaga pemberi fatwa yang ada di Indonesia?
3.      Bagaimana kontribusi peradilan Islam bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia?
4.      Bagaimana eksistensi peradilan Islam di Indonesia?


PEMBAHASAN



2.    Eksistensi Peradilan Islam di Indonesia
a.         Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia
          Peradilan islam merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaaan dalam memberikan layanan agama kepada masyarakat Islam. Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia  dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya. Badan peradilan tersebut, meliputi :
·           Peradilan Umum
·           Peradilan Agama
·           Peradilan Militer
·           Peradilan Tata Usaha Negara
Di samping mahkamah agung, terdapat mahkamah `konstitusi. Pada masing-masing lingkungan peradilan, memiliki cakupan dan wewenang sendiri-sendiri untuk mengadili (atributie van rechmacht), dan ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang  dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kekuasaan dan wewenang pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas wewenang relative (relative competentie) dan wewenang mutlak (absolute competentie).[1]
Kewenangan dan kekuasaan PA  sebagaimana tercantum dalam Bab III UU No. 7/1989(pasal 49-53) meliputi bidang-bidang hokum perdata, antara lain perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan lain-lain.[2]
Susunan hierarkis Pengadilan Agama meliputi Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.Pengadilan tingkat pertama disebut PA yang berkedudukan di setiap ibukota Kabupaten atau Kotamadya.Pengadilan tingkat banding  bernama pengadilan tinggi agama yang berada di propinsi. Kedua lembaga ini berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi.
b.         Kewenangan dan Otoritas Peradilan Islam
          Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Sedangkan pengadilan adalah lembaga yang bertugas memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Peradilan agama memiliki kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang berperkara. Secara hierarkis penyelesaian perkara di peradilan agama dilaksanakan melalui dua lembaga, yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Pengadilan agama merupakan tingkat pertama sedangkat pengadilan tinggi agama merupakan tingkat banding. Di atas kedua lembaga tersebut, perkara akan diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan agama didasarkan pada Undang-undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang No.3 tahun 2006. Dalam pasal 49 ayat 1 Undang-Undang no.7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam. dengan demikian kewenangan absolute peradilan agama memiliki dua ukuran ; asas personalitas (pencari keadilan yang beragama Islam) dan bidang hukum perdata tertentu, seperti yang tercantum dalam Bab III UU No. 7 tahun 1989.
Asas personalitas dalam UU PA dicirikan oleh faktor keislaman, sehingga disebut asas personalitas keislaman. UU PA mengatur faktor keislaman pada dua kategori, yaitu personalitas pihak yang berperkara dan pokok sengketa yang diperkarakan.
Kategori pertama disebutkan dalam pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama adalah peradilan orang-orang yang beragama Islam. Kategori kedua disebutkan dalam pasal 49 ayat 1 yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Dalam penjelasan umum UUPA dijelaskan bahwa pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, dan sedekah yang berdasarkan hukum Islam.
Perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama meliputi perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Masalah perkawinan misalnya, mengatur tentang perijinan beristri lebih dari satu, batas umur untuk menikah, dispensasi perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan lain-lain. Perkara lain yang menjadi kewenangan pengadilan agama adalah masalah wakaf, infaq, dan sadaqah.
Kewenangan mengadili perkara bagi Peradilan Agama diperluas dengan diundangkannya Undang-Undang No.3 tahun 2006. Dalam undang-undang ini, Pengadilan Agama memiliki wewenang tambahan dalam masalah muamalah atau ekonomi syari’ah. Masalah muamalah tersebut meliputi kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, seperti : Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Reasurasi Syari’ah, Reksadana Syari’ah, Obligasi Syari’ah, dan Surat Berharga Berjangka Syari’ah, dan lain-lain.
Berdasarakan peraturan di atas dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolute sebagai pengadilan perdata bagi umat Islam. perkara yang menjadi kewenangannya adalah perdata khusus, yaitu hukum keluarga dan hukum ekonomi syari’ah. Oleh karena itu, pengadilan agama tidak hanya menjadi pengadilan keluarga tetapi dioerluas dalam masalah perekonomian syari’ah.
Perluasan kewenangan absolut pengadilan agama tidak dapat dipisahkan dari asas personalitas yang menjadi ciri khasnya dan juga perkembangan implementasi hukum Islam di Indonesia. Sejak masa reformasi bergulir, keinginan sejumlah umat Islam untuk menegakkan hukum Islam di berbagai bidang mulai terlihat. Misalnya sistem ekonomi Islam yang menjadi alternatif terbaik bagi sistem perekonomian dunia.
3.      Kontribusi Peradilan Islam bagi Perkembangan Hukum Islam
Sistem hukum Indonesia menganut pluralisme sistem hukum, karena terdapat tiga sistem hukumyang hidup dan berkembang yaitu; hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Hukum Indonesia yang berlaku di Indonesia itu dapat dibagi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara normatif, adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sangsi dan padahan kemasyarakatan. Pelaksanaannya tergantung kepada kuat lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat normatif itu. Hukum Islam yang berlaku secara normatif tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya.
Kedua, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat,yang termasuk dalam kategori hukum Islam bidang mu’amalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif karena dituangkan dalam peraturan perundang-ungangan, berdasarkan atau karena ditunjuk oleh perundang-undangan. Yang dimaksud adalah (misalnya) hukum perkawinan, hukum warisan, hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis memerlukan bantuan penyelenggaraan negara untuk menjalankan secara sempurna dengan misalnya, mendirikan lembaga Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur sistem peradilan nasional di negara kita.
Peradilan agama dapat dipandang sebagai suatu gejala keislaman karena mampu mengungkapkan banyak aspek kehidupan masyarakat muslim. Secara historis keberadaan peradilan agama di Indonesia mengalami pasang surut kekuatan lembaga peradilan agama ini menunjukkan kekuatan keberagaman masyarakat muslim sepanjang sejarah. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan kolonial Belanda yang menjadi lembaga Peradilan Agama sebagai sasaran utama politik hukum guna melemahkan kesadaran beragama umat Islam.
Kebutuhan umat Islam akan peradilan agama tidak dapat diartikan sebagai permintaan istimewa oleh umat Islam. Kehadiran peradilan agama merupakan kebutuhan muslim sebagai umat lain yang sudah terpenuhi, seperti peradilan umum yang berdasarkan pada moralitas Kristen. Oleh karena itu, diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 adalah untuk mengembalikan keseimbangan, keserasian dan keselarasan di bidang kebutuhan hukum dari kelompok umat Islam di Indonesia. Politik hukum kolonial Belanda yang mengeliminir dan meresepsi berlakunya hukum Islam bagi umat Islam di Indonesia, menyebabkan trauma yang panjang bagi umat Islam dalam berhadapan dengan superiority complex. Hukum Islam tidak hanya menyangkut masalah ubudiyah saja, tetapi juga masalah muamalah yang sangat luas ruang lingkupnya. Maka peradilan agama perlu dikembangkan guna memenuhi kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia.
Di sisi lain, terdapat kelemahan dan kendala bagi lembaga Peradilan Agama ini, yaitu:
1.      Peradilan agama adalah lembaga formal yang terkait dengan ketentuan formal dan prosedural, bukan lagi sebagai lembag informal yang dapat berkembang leluasa, baik dalam beracara maupun membuat keputusan. Keberadaan pengadilan agama terikat dengan Undang-undang tentang kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 4 tahun 2004) dan Undang-undang Peradilan Agama sendiri (UU No. 7 tahun 1989 dan UU No. 3 tahun 2006). Keberadaan kedua perundang-undangan ini mempengaruhi perluasan kewenangan absolut bagi pengadilan agama.
2.      Kurangnya pengetahuan hakim tentang hukum Islam, khususnya hukum fiqh yang sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan hukum umat Islam. Kitab-kitab fiqh yang menjadi pegangan para hakim pengadilan agama yang kemudian dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, masih memerlukan interpretasi kontekstual, guna menyesuaikan dengan perkembangan persoalan dalam masyarakat. Di sinilah kekuatan ijtihad para hakim pengadilan agama dituntut untuk mampu membumikan hukum syari’at Islam sehingga menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat.
3.      Kurangnya kemampuan hakim pengadilan agama untuk menangani perkara menurut prosedur hukum acara yang berlaku. Kebanyakan hakim menguasai materi hukum Islam tetapi kurang menguasai masalah hukum acara. Padahal pedoman beracara di pengadilan diatur secara prosedural, di mana seorang hakim wajib mengetahuinya. Kesalahan dalam prosedur beracara di pengadilan agama dapat mengakibatkan kesalahan dalam membuat keputusan hukum.
                        Demikian beberapa hal yang harus diperhatikan guna meningkatkan peran dan fungsi peradilan agama bagi pengembangan hukum Islam. Peradilan agama menerima kapasitas sebagai tonggak penegak hukum Islam di dalam dan di luar pengadilan. Para hakim di pengadilan tersebut adalah ulama dan pemimpin masyarakat yang dianggap sebagai sumber alternatif untuk memecahkan permasalahan sosial.
            Berdasarkan peran dan fungsinya, peradilan agama harus mampu mentransformasikan hukum Islam dalam realitas kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, peradilan agama menjalankan fungsi sebagai peradilan Islam sekalipun sedang memerankan peradilan negara. Penyelesaian perkara harus mengacu pada penunaian kewajiban dan pemenuhan hak serta penghindaran pihak-pihak yang terkait dari tindakan kezaliman.
            Hal yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan aktualisasi bagi pengambangan peradilan agama. Peradilan agama harus mampu menjadi court of law, menjadi pelaksana kekuasaan kehakiman. Kewenangan pengadilan agama adalah dalam bidang hukum perdata, khususnya hukum keluarga dan hukum ekonomi syari’ah. Oleh karena itu, perlu pengembangan dengan melakukan studi banding dan kajian terhadap pengadilan agama di negara lain untuk memperbaiki perundang-undangan yang berlaku. Pengadilan agama harus menjadi katalisator bagi terciptanya kesatuan hukum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.


4.      Lembaga-lembaga Pemberi Fatwa di Indonesia
Selain peradilan agama, di Indonesia terdapat lembaga yang mengeluarkan fatwa dengan hukum Islam. Namun lembaga ini tidak bersifat mandiri dan termasuk dalam bagian dari organisasi sosial/kemasyarakatan. Berikut adalah lembaga pemberi fatwa, yaitu:
·       Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Muhammadiah adalah organisasi sosial yang memiliki misi pembaharuan yang meliputi pembaharuan untuk mengembalikan pada keasliannya atau kepada Al-Quran dan pembaharuan yang disesuaikan dengan kondisi dan waktu saat terjadi. Majelis ini didirikan karena keputusan kongres muhammadiyah ke-XVI tahun 1927 di Pekalongan berkat usul K.H. Mas Mansyur yang berdasarkan kekhawatiran adanya perpecahan antara orang muhammadiyah. Majelis ini berfungsi mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tetang masalah tertentu. Masalah yang tidak hanya dalam agama namun juga dalam masyarakat sosial. Majelis ini berusaha mengembalikan persoalan kepada subernya yaitu Al-Quran dan AL-Hadits, baik yang sudah jelas ada di Al-Quran maupun masih belum jelas hukumnya.
Dalam muktamar Muhammadiyah ke- XVII tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk pengurus Majlis Tajrih Pusat yang diketuai oleh K.H. Mas Mansyur dan K.H.Aslam Z sebagai sekretaris selain it juga membahas tentang anggaran dasar serta tugas Majlis Tahris yang tugasnya adalah:
1.      Mengamati perjalanan muhammadiah yang berkaitan dengan agama
2.      Menerima,menyelidiki,dan mentarjihkan atau menetapkan hukum masalah khilaiyah yang diragukan hukumnya,yang penting dalam muhammadiyah.
3.      Pembaruan harusnya berlandas al-quran dan al-hadits dengan berpedoman kepada ushul fikih yang dipandang Ma’tabar dan mementingakan riwayatnya.
Mujtahir pertama dilakukan di solo tahun 1929 menghasilkan identifikasi tentang iman dan sembahyang yang kemdian hasil tersebut dibukukansetelah itu dibahas pula tentang gambar, musik,lotre,api unggunarak-arakan Aisyiyah dan sebagainya. Tahun 19995 di Aceh majelis ini di sempurnakan menjadi Majelis Tahrih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) setelah mengalami beberapa perubahan kini tediri menjadi tiga yaitu Pusat,Wilayah,Daerah.
Perumusan metodologi pemikiran islam tahun 200 yaitu:
·         Mengubah istialh al-sunah al-shahihah menjadi al-sunnah al-maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-quran, ini membuktikan bahwa majelis tidak hanya menggunakan hadits yang shahih tapi juga hasan.
·         Ijtihad adalah metode bukan hukum, yang berfungsi metode untuk menentukan ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-quran dan as-sunnah
·         Ijtihad meliputi bayani (menggunakan kaidah kebangsaan) ta’lili (menggunakan pendekatan ‘illat hukum) dan istishlahi pendekatan kemaslahatan)
·         Menggunakan empat pendekatan untuk menentukan hokum yaitu: hermeneutika,sejarah,sosiologis, dan antropologis.
·         Ijmak,qiyas, maslahah mursalah serta urf berkedudukan sebagai penetapan hukum.
·         Taaruldl al-adillah diselesaikan secara hirarkis melalui al-jam’u wa altaufiq,altarjihnal-naskj dan al-tawaquff.
·         Tarjih terhadap nash harus mempertimbangkan dari segi sanad,matan, hukum, serta eksternal.
·         Hal yang tidah berubah masih tetap berlaku. Seperti mendalilkan kaidah hanya kepada mutawatir, pemahaman al-quran dan al-sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral serta hal hal lain yang tidak dirubah.
Manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip yang menjadi orientasi utamannya yaitu:
1.      Prinsip al-mura’ah (konservasi) pelestarian nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk mengatasi masalah yang muncul. Caranya bisa dengan pemurnian  ajaran islam. Ruang lingkup pelestarian ini adalah aqidah dan ibadah.
2.      Prisip al-tahditsi inovasi)penyempurnaan agama untuk memenuhi spiritualmasyarakat islam sesuai perkembangan sosial. Penyempurnaan dengan cara rektualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
3.      Prinsip al-ibtikari (kreasi) penciptaan rumusansecara kreatif,konstraktif dalam menyahuti masalah aktual. Kreasi ini dilakukan dengan menerima nilai dari luar atau penyerapan nilai dan elemen luaran disaring.
Pengambilan keputusan terhadap persoalan adalah dengan mencari dalil yang relevan menerapkan manhajnal-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya kemuadian hasi keputusan di ajukan kepada pimpinan sesuai dengan tingkatan kemudian muhammadiyah mewakili otoritasnya mentanfiskan atau tidak. Jika ditanfiskan maka keputusan tersebut di sebarkan ke wargannya kemudian menjadi fatwa baru namun apabila di kemudian hari ditemuakan hal yang lebih baik maka fatwa tersebut bisa di perbaiki lagi.

·    Lajnah Bahsul Masail Nahdatul Ulama
Nahdatul ulama sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtimaiyah sejak awal telah mendirikan faham ahlusunnah wal jama’ah sebagai basis teologinya. Organisasi ini menganut dari empat mazhab yaitu safii, maliki, hambali serta hanafi. Pengambilan hukum kepada mujtahidin (pendapat para ulama) jika ada perbedaan pendapat maka diambil dari yang paling kuat atau pendapat yang di takhrij.
Susunan todologis jawaban ittifaq yaitu:
1.        Dalam jawabanya ditemukannya satu qoul(pendapat)maka itu yang diambil.
2.        Dalam kasus yang terdapat dua pendapat,maka dilakukan tahrir jammaiuntuk memilih salah satunya.
3.        Bila tidak ada pendapat digunakan ihhaq al masail bin nadhariha(menetapkan sesual denga  hokum yang sama.
4.        Masalah yang di kemukakan ibarat kitabdan tidak bias dilakukan itshaq maka dilakukan istimbat jama’I denagn prosedur madzab manhaji oleh para ahlinya.
Terjadinya pemikiran hukum NU tersebut tidak lepas dari faktor,internal yaitu muncul banyak kiai muda kritis yang mempunyai pengalaman keagaman inklusif dan menyadari adanya pluralitas agama dan pemahaman keagamaan dan faktor eksternal yaitu pergumulan warga nadiyin dengan berbagai wacana modern, yang kemudian membentuk sikap kritis pada doktrin ajaran yang baku.

·      Dewan Hisbah Persatuan Islam
Persatuan islam adalah organisasi sosial Islam yang berdiri tanggal 12 september 1923 organisasi ini awalnya sebuah kelompok tadarus yang di pimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Fungsi dan kedudukan majelis ulamak persis  termaktub dalam qunum asasi persis tahun 1957 bab V pasal 1 yang berbunyi:
a)         Memiliki majelis ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum islam berdasar al-quran dan al-sunnah dan pusat menyiarkanya.
b)        Majelis ulama diangkat oleh pusat dan berlaku selama lamanya.
c)         Sesuai arasatul ambiyamajelis ulama memiliki hak veto (menolak dan membatalkan) segala keputusan dan langkah yang di ambildalam segala instansi organisasi persatuan islam.
Cara bekerja majelis ulama diatur kaida majelis ulama sebagaimana di tuliskan dalam pasal 2:
a)         Segala keputusan yang diambil mejelis ulama harus dipatuhi oleh pusat pimpinan segenap anggota ersatuan islam
b)        Instansi majelis ulama hanya diadakan oleh pusat pimpinan.
c)         Cabang berhak mencalonkan ulama daerahya kepada pusat pimpinan untuk menjadi majelis ulama,disertai riwayat hidup ulama tersebut.
d)        Pusatpimpinan berhak menolak ulama yang diajukan.
Dewan hibh mengambil keputusan atau taruq al-istinbat menjadi tiga yaitu:
·           Ahkam al syari ketetapan yang ditentukan oleh syari bersifattuntutan dan pilihan. Ini menimbulkan sifat ijab (wajib),nadb(mandub),tahrim(haram),karahan (makruh),serta ibahah (mubah).
·           Sumberhukum al-quran dan al-sunah dibagi menjadi tiga:
1.         Kehujan sunnah  yaitu semua yang datang dari nabi baik berupa perkataan perbuatan dan taqrirnya.
2.         Kedudukan sunah dalam tasyri islam berfungsi sebagai penguat  (ta’kid) terhadap hokum yang adadalam al-quran,penafsir dan pegkaid dalam ayat yang mujmal, umum atau mutlak,menetapkan hokum baru yang tidak di tetapkan dalam aluran.
3.         Klasifikasi al-sunnah dibagi menjadi dua macam yaitu mutawatir atau hadis yangdi riwayatkan oleh banyak orang yang mustahil berkumpul dan bersepakat dan ahad yang diriwajatkan oleh beberapa orang dibawah mutawatir. Maka hadis di klasifikasikan menjadi dua yaitu qat’I al wurud dan zanni al-wurud.
4.         Dilalah susunan terhadab hukum yang sampai kepada kaum muslim ada yang pasti dan ada yang tidak pasti.
·           Metode istinbat hukum terdiri dari
1.         Kaidah ushulfiah atau kaidah kebahasaan
2.         Tujuan umum perundang-undangan islam yaitu merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemadhorotan bagi manusia.
3.         Cara menyelesaikan nass yang nampak bertentangan dengan cara tariqat al-jami’ yaitu menggabungkan dua nas yang nampaknya bertentangan dalam satu masalah,tariqot al-tarjih yaitu mengambil yang lebih kuat dari dua dalil yang sama-sama shahih.
Mekanisme ijtihad yang ditempuh oleh dewan hisbah adalah:
1.         Mencari keterangan dari al-quran bila terdapat perbedaan pemahaman dan penafsiran maka diadaka tariqot al jami’
2.         Bila tidak ada dalil dari al-quran maka diadakan penelitian tentang haditsnya baik dari segi sanadnya maupun matannya sebagai langkah untuk melakukan pertarjihan.
3.         Jika tidak terdapat dalam sunnah maka di cari atsar sahabat.
Metode pengambilan keputusan hukum atas dasar Al-Qur’an dan Hadist yaitu:
1.         Mendahulukan Dhahir ayat Al-Qur’an daripada Takwil.
2.         Menerima dan meyakini isi Al-Qur’an sekalipun bertentangan dengan akal.
3.         Mendahulukan makna hakiki daripada majasi kecuali alas an seperti lafadz Aw laa mastumun nisa’ dengan pengertian bersikukuh.
4.         Apabila ayat bertentangan dengan hadist, maka ayat didahulukan meskipun hadits tersebut shahih.
5.         Menerina Tafsir para sahabat.
6.         Menerima hadits sebagai bayan daripada ayat Al-Qur’an.
7.         Melakukan sesuatu jika ada contoh dari Rasul sedangkan Ijma’ Ulul Al- Amri hanya dalam masalah keduniaan.
8.         Qiyas dijadikan dalil ke-empat jika tidak ada nash dari AL-Qur’an dan As-Sunnah.
9.         Madzab disamakan dengan tali karena disamping tidak berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah juga karena pada masa Rasul dan Sahabat tidak ada madzhab.

·      Komisi Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan para cendekiawan muslim Indonesia. Majelis ini berdiri tanggal 7, Rajab 1395 H di Jakarta. Berdiri dari hasil pertemuan musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama dari penjuru tanah air yang pesertanya 26 ulama dari 26 Provinsi, 10 orang ulama  yang merupakan unsur dari ormas islam dari tingkat pusat. 4 orang ulama dari Dinar Rohani islam serta 13 orang tokoh perorangan.
Dalam kittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan dalam 5 fungsi dan peran, yaitu:
1.         Sebagai pewaris tugas nabi.
2.         Pemberi fatwa.
3.         Pembimbing dan pelayan umat.
4.         Gerakan islah wa altajdid.
5.         Penegak Amal Ma’ruf Nahi Munkar.
·         Metode ijtihad komisi fatwa MUI
Sumber fatwa di dapat dari fatwa yang di tetapkan dalam komisi fatwa musyawarah nasional MUI. Keunggulan MUI dalam istinbat lintas mazhab dan mempunyai keterkaitan dengan mazhab fikih tertentu maka fatwa MUI mencerminkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.pendekatan dengan tiga cara yaitu nash qathi atau berpegang pada al-quran atau hadits yang jelas jika tidak jelas menggunakan perkataan qouli dan manhaji. Qouli adalah pendekatan penetapan fatwa dengan mendasar pada pendapat para imam mazhab dan kitab fikih terkemuka sedangkan manhaji digunakan pendekatan nas qathy dan qauly. Dilakukan dengan pengaruh kaidah pokok dan metodologi yang di kembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan masalah mazhab.pelaksanaan secara kolektif dan dengan pertemuan pendapat yang berbeda dan memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya.




KESIMPULAN


            hnefiuegnifudjeh
DAFTAR PUSTAKA


Sodiqin, Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh, “Sejarah, Metodologi, dan      Implikasainya diIndonesia”. Yogyakarta: Beranda
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar        Sejarah Hambatan dan Prospeknya. Jakarta : Gema Insani Press
Taufiq, dkk. 1998. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.     Bandung: Logos
Kansil. 1983. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :            PN Balai Pustaka


[1] UU No.4 tahun 2004 TentangKekuasaanKehakiman, (Surabaya : Karina, 2004) hlm . 26
[2]DR. Ali Sodiqin, FiqhUshulFiqh, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hlm: 251


0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 Sebutir Embun All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.